Pertengahan April 2010…
Pesawat yang kutumpangi mendarat dengan mulus walaupun dari gemuruh mesin yang terdengar bisa dipastikan kalo supir pesawat ini berusaha sekuat tenaga ngerem supaya pesawatnya tidak mendarat di rerumputan di ujung runaway Bandara Haluoleo (dulu Bandara Robert Wolter Monginsidi) – Kendari.
Mantap langkah kaki kupijakkan di landasan yang panas, sambil hati bertanya-tanya seperti apakah kota yang akan kudatangi sekaligus kutinggali dalam jangka waktu yang belum bisa ditentukan ini? Dengan langkah setengah berlari saya menuju pintu masuk Bandara, berusaha menghindar dari panas matahari menjelang siang yang cukup terik.
Beberapa tenaga Porter Bandara menawarkan jasa untuk mengangkut barang-barang ku. Akhirnya seorang dari porter itu kupakai jasanya untuk mengangkat koper yang cukup besar dan satu buah dos besar. 15 menit kemudian kopor dan dos besarku sudah kelihatan di conveyor, dengan sigap si bapak porter yang sudah setengah tua mengambil kopor dan dos besar ku dan meletakkan di atas troley. Sebenarnya jarak antara conveyor dan pintu keluar hanya 10 meter saja, tapi mengingat barang-barang yang kubawa cukup besar dan berat akhirnya kuputuskan untuk memakai jasa porter bandara.
Keluar dari pintu bandara wajah mr B yang menjemputku langsung senyum-senyum…”mendarat nya mulus gak Bang?” Kampret…gerutuku dalam hati. Rupanya dia sudah tahu tipikal Bandara Haluoleo ini. Landasan yang kurang mulus dan pendek pula, mangkanya tadi pesawat begitu menyentuh landasan langsung di rem mati…hahahahaha…aku jadi tertawa dalam hati.
Barang sudah kumasukkan di bagasi mobil minibus (yang kelak jadi kendaraan operasional ku sehari-hari), begitu masuk di mobil AC langsung kunyalakan dengan temperatur rendah dan blower tinggi, udara sejuk langsung kurasakan, biarpun panas terik matahari masih bisa tembus ke kabin mobil ini.Lumayan….
Sepanjang perjalanan menuju kota, kiri kanan jalan yang kulihat hanya barisan pohon kelapa dan tanah kosong yang ditumbuhi semak belukar. “Pemandangan begini sampe berapa lama bro..??” spontan saya bertanya ke Mr B. Dia tertawa terbahak-bahak….saya jadi tambah bingung….”welcome to the jungle, broooo….”. Sialan gerutuku kembali dalam hati. Tanpa diartikan lebih detil saya sudah tau pasti gambaran kota di tenggara Pulau Sulawesi ini. Panas, gersang, ditambah lagi minim sarana hiburan. Info ini kudapat dalam pembicaraan sepanjang perjalanan dari Bandara menuju kota yang berjarak sekitar 23 Km saja….
Cerita diatas selalu terlintas di benak saya setiap saya mengingat pertama kali datang di kota ini.
1 tahun 7 bulan sudah saya menjadi penghuni Kota Kendari ini. Segala macam kekurangannya sekarang sudah bisa kujadikan kelebihan. Masih untung ada Kopi Daeng yang menjadi tempat nongkrongku sehari-hari di Kota yang mulai terkenal dengan Tambang Nikel nya ini. Tapi rasa sepi setiap menjelang tidur tidak bisa kuelakkan. Celoteh si Kakak Regina dan Ocehan si kecil Lucy yang menjadi pengantar tidur kalau saya pulang ke Makassar selalu kuingat. Kadang sampai tengah malam si Kakak masih minta dibacakan buku ceritanya. Kadang dia minta diejakan kata-kata, maklum dia sekarang sudah diajari mengeja di sekolah TK nya. Yah…sepi, biasa sehari-hari saya bermain-main dengan mereka selepas jam kerja kantor, sekarang bisa pulang 1 bulan 1 kali pun sudah bersyukur.
1 tahun 7 bulan sudah kenikmatan bercengkerama dengan anak dan istriku tidak bisa lagi kunikmati. 2 bahkan 3 hari berada di Makassar setiap bulannya pun kurasa sangat tidak cukup. Setiap perjalanan pulang menuju Kendari kuanggap sebagai satu bentuk pengulangan perasaan kehilangan. Kehilangan keceriaan anak-anak ku, kehilangan senyum cantik istriku saat kujemput pulang kantor, kehilangan kebersamaan dengan mereka.
1 tahun 7 bulan sudah….
Entah sampai kapan….
sebulan…dua bulan..setahun..dua tahun lagi kah…?
Dear Mam, Kakak Re, Adek Lucy……AKU RINDU….
Kendari, 10 November 2011.
komentar anda